Rabu, 14 April 2010

MENELAAH HIDUP LEWAT PUISI

Sebuah Ulasan Puisi Karya penyair Ida Nursanti Basuni

Adalah suatu kesempatan yang besar, saat saya diberi izin mengulas karya penyair Ida Nursanti Basuni dalam 3 puisinya.
TAQWA

Menengadahlah ke langit, jika kau gundah
dari arah yang tak terlihat, akan datang seribu pahala.

Kau takut dengan beras yang tinggal segantang
sedang langit mengucurkan hujan pada ikan-ikan
dan burung-burung di samudra

Jika menyangka, datangkan seribu pahala dengan kekuatanmu
bisakah camar makan sedangkan elang menyambar?

Selama hidup, kau takkan tahu
jika malam tiba kau akan nyenyak sampai pagi

Aku, kau, dan anakmu
mungkin hidup seribu hari
seribu bulan
namun tetap saja kalian menuju mati

(Singkawang, 2010)
Dalam puisi TAQWA sang penyair mengajak kita berkenalan dan memaknai hidup hingga akhirnya kita menemukan terminal kehidupan.
Dengan sangat gamblang penyair mengabarkan pada kita bahwa betapa pun kita sudah maksimal dalam berusaha, kita selalu diajak untuk selalu ingat kepada kematian. Karena kematian adalah tamu yang pasti datang. Namun dalam bait terakhir penyair entah secara sadar atau pun sadar tidak melibatkan dirinya dalam kematian padahal pada 4 baris terakhir secara tegas penyair melibatkan diri Aku, kau, dan anakmu /mungkin hidup seribu hari/ seribu bulan/ namun tetap saja kalian menuju mati. Inilah yang saya maksud sangat ganjal seolah-olah penyair disini bertugas menjadi hakim andai kata kalian diganti dengan “kita” maka kearifan penyair akan tercermin dengan gamblang.


DI PERSIMPANGAN SENJA

Ketika senja di persimpangan senyap,

neon kuning menghapus jejak tawa

dengan adzan dari masjid tua.

Tak lagi kuingat

kapan kota ini beranjak tua

kapan ia beranjak remaja.

Mungkin saja pada sebuah persimpangan senja

Kepak walet pulang ke rumah

pada riuh jejak turis di hotel seberang Kota Indah.

Senyap itu lalu riuh

lampu sen kiri berkelip dalam senja yang kuning

Kota tua di persimpangan senja

kini bagai perawan menor di seberang warung kopi.

Seperti negeri Huan Zu Keke

lampion memagar langit jingga.

Dipersimpangan senja waktu seakan jeda,

terkenang akan jejak tawa adik.

Persimpangan senja kota tasbih

bilur angin runcing menempias waktu bertemu dengan-Mu.


Kota Tasbih, Desember 2009
Dalam puisi kedua berjudul DI PERSIMPANGAN SENJA penulis dengan tegas memaknai senja
Dipersimpangan senja waktu seakan jeda/terkenang akan jejak tawa adik/Persimpangan senja kota tasbih/bilur angin runcing menempias waktu bertemu dengan-Mu.
Betapa senja adalah waktu yang sangat indah jika digunakan untuk bertemu Tuhan. Selalu mengingat tentang kemaha sempurnaan Tuhan.
Secara keseluruhan puisi DI PERSIMPANGAN SENJA adalah isyarat bagi kita untuk selalu merenung tentang segala peristiwa.


MITOLOGI TEBU

Tubuh semampai menebas angin

rapuh lengan membelai cahaya

bersama gesek erang

Bocah bermata lengkung meriuh di ujung sungai

merebas ilalang, mematah reranting

Lading berkilat menantang terik

tebas, lengas, lunglai

“Sesaplah dari ujungnya, kemudian pangkal lengannya.

Jangan tinggalkan ujung bila hendak kepucuk.”

Sesap hingga ampas. Jadam barulah madu.

Tuan, mengajarimu begitu.


Singkawang, pertengahan terik 2010
Dalam puisi MITOLOGI TEBU kita diajak untuk selalu satu rasa, satu tujuan dalam segala sesuatu. Kita harus mengingat asal agar tidak kehilangan jatidiri di kala sukses. Membaca puisi MITOLOGI TEBU kita akan terus diajak mengenali diri, mengenali asal. Kita diajak untuk lebih arif dalam memahami hidup.
Dengan demikian ketiga puisi Penyair Ida Nursanti Basuni mengajak kita untuk selalu hidup tanpa meninggalkan ciri khas kehidupan kita. Kita diajak hidup namun di sisi lain, kita diajak merenungi mati. Inilah usalah singkat saya terhadap tiga puisi penyair Ida Nursanti Basuni semoga ulasan singkat ini bisa menjadi cermin bagi diri saya pribadi dan bagi pembaca budiman agar lebih arif dalam memandang hidup. Akhirnya kepada penyair saya hanya bisa berkata,”Selamat berkarya!”

Al-Amien, 15 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar