Selasa, 13 April 2010

MASIH ADA CINTA DAN RINDU DALAM PUISI

Sebuah Ulasan Puisi

Berikut ini perkenankan saya mengulas 3 puisi yang ditulis oleh tiga penyair. Kita simak sejenak semua puisi utuh yang ditulis penyair-penyairnya.

MEMUJAMU
Oleh Eka Huang

Oh Kasih… Kau telah mencuri

hatiku ribuan kali. Dalam

keindahan jubahmu yang tak

tertandingi, kau sungguh

menawan. Aku memujamu di

setiap hela nafasku. Jua

kau tak bosan mengisi cawan

jiwaku yang tlah kosong,

hingga setiap pertemuan kita

munculkan nafsu surgawi

dimana aku kehilangan diriku…


11.04.2010

KAWINI AKU
Oleh Faradina

datanglah
satu lelaki
yang sedia mengawini aku

tidak kuharap setumpuk uang
atau seperangkat alat shalat
sebagai mahar
hanya, selimut
buat penghangat
saat tubuhku gigil dibakar sepi
hingga malam bagiku tak pernah pagi

dahulu seorang lelaki
mengeja setiap inchi tubuhku
ia melukis rembulan di mimpiku
seperti kaleng tanpa isi, ia lemparkan aku
dalam senyap tanpa harap
bahkan, ia bawa serta mimpiku

kawini aku
dengan selembar mimpi
yang kau lukis dengan wajahmu

Sajak Rindu
Oleh Weni Suryani

Sajak-sajak rindu kubaca dengan lirih
kusembunyikan di balik kidung hujan
hanya dadaku yang mendengar
Bukan dadamu

Sebab kucari wajahmu di lidah malam
Ternyata hanya ada sepertiganya
Sisanya entah kau sembunyikan di mana

140110
Ketiga Puisi yang ditulis oleh tiga penyair FB ini hadir dengan gaya yang beraneka ragam. Ada yang lebih menonjolkan sisi pesan tanpa terlalu mabuk dengan metafor. Ada pula yang sesekali bercanda dengan metafor namun tidak terlalu mengagungkan metafor tersebut. Pada puisi ketiga lebih kental dengan metafor tanpa menganak tirikan isi pesannya.
Dalam puisi MEMUJAMU buah pena Eka Huang, lebih mengajak kita bercanda dengan puisi dari sudut maknanya. Puisinya sangat kental dengan makna, sedang metafora dalam penulisan puisi ini kurang terlalu mendapat tempat yang eksklusif. Pertemuan penyair dengan kekasihnya membuahkan perenungan yang sangat sensitif dengan dunia sufi, dimana aku kehilangan diriku adalah bait penutup yang kental dengan renungan. Hal inilah yang sangat menonjol dari puisi sahabat Eka Huang.
Berbeda dengan Sahabat Faradina dalam puisinya berjudul KAWINI AKU, sahabat Faradina tak hanya memfokuskan karyanya dari segi pesan saja namun metafor juga mendapatkan perhatian, dengan kata lain tidak dianak tirikan. Bait pertama dalam puisinya dibuka dengan bahasa hati tanpa menganak emaskan metafor, datanglah/satu lelaki/yang sedia mengawini aku.
Bait kedua masih di sampaikan dengan bahasa hati, bahasa yang lebih mudah dimengerti karena metafora belum ditampakkan. Barulah pada bait ketiga sang penyair mulai akrab dengan metafor. Kita bisa menemukan kata-kata segar di dalamnya semisal ia melukis rembulan di mimpiku . Sungguh lukisan hati yang sangat menawan. Kalimat yang penuh dengan cumbuan metafor yang memikat hati.
Rupanya keakraban penyair dengan metafor terus dipertahankan dan terus di arahkan pada sebuah puncak atau totalitas karya yang memukau. Panorama seperti ini, bisa kita nikmati pada bait terakhir dari karyanya kawini aku /dengan selembar mimpi /yang kau lukis dengan wajahmu. Kita berikan tepuk tangan untuk sahabat Faradina.
Sementara sahabat Weni hadir bersama puisi berjudul Sajak Rindu. Sahabat Weni rupanya lebih akrab dengan metafor. Dua bait puisinya ditulisnya dengan begitu anggun. Betapa rindu telah mengajari sahabat Weni untuk melukiskan isi hatinya dalam sebuah puisi yang sarat metafor. Sajak-sajak rindu kubaca dengan lirih/kusembunyikan di balik kidung hujan/hanya dadaku yang mendengar Bukan dadamu
Sebab kucari wajahmu di lidah malam/Ternyata hanya ada sepertiganya/Sisanya entah kau sembunyikan. Demikianlah penyair Weni mengisyaratkan rindu dalam puisinya yang sangat kental dengan metafor di bandingkan dua penyair yang ada dalam ulasan ini,

Al-Amien, 11 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar