Kamis, 22 Juli 2010

NURANI, GARUDA ITU

UDARA merdeka, udara mereka dihirup oleh berjuta mulut menganga. Nurani semakin tua. Ia terbatuk-batuk oleh segala bentuk pembangunan yang menyalahi aturan. Daerah Aliran Sungai tumbuh plaza, hypermarket, dan kondominium sementara di bawahnya gembel-gembel, gelandangan, dan anak jalanan menjolok bulan yang kusam. Pembangunan ekonomi yang gila-gilaan membawa bangsa ini menjadi konsumtif. Segala sesuatu diukur dengan ukuran limpahan materi.

Cuaca senja menjadikan Nurani semakin tua, bungkuk, dan tersaruk-saruk jalannya. Ia membayangkan jembatan dan jalan yang dulu ia bangun dengan gotong royong meneteskan keringat dan darah oleh kaki yang luka, ikhlas menyerahkan sebagian dari tanah dan airnya kini meruah airmata bangsa yang mengais nasib di seelokan dan tumpukan sampah pembangunan. Nurani semakin tua dan merasa sia-sia memanjatkan doa.

Burung-burung senja kembali melintas di atas mega. Garuda masih berpaling ke kanan dan di dadanya tergantung perisai yang penuh dengan simbol-simbol. Garuda itu terbang menembus mega, melabrak awan berarak, terbang bebas mengepakkan sayap-sayap keperkasaan. Nurani berbisik dalam hati, "akulah garuda yang melintas mega. Aku terbang menembus gumpalan awan menuju sarang keabadian. Ya, Allah jadikan sayapku perkasa mengepakkan doa-doa purba. Jadikan bulu-bulu di sekujur tubuhku sebagai rindu anak-cucu. Izinkan kini aku terbang menuju pulang ke sarang. Telah kulewati musim-musim pancaroba dan kini senja telah tiba. Aku terbang menuju Gerbang Istana-Mu, mengepakkan sayap-sayap rindu."

Garuda itu kini terbang di keluasan hatiku. Darahku berdebur-debur,menggelombang menerjang karang-karang kehidupan yang keras. Dinding-dinding dadaku menyatu dengan langit biru, menyimpan segala rindu.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
Jambi 19 juli 2010
Biodata Penyair
Dimas Arika Mihardja adalah seorang penyair Angkatan 2000 dan sekaligus seorang dosen puisi di Universitas Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar